![]() |
| Ancaman Kota Tenggelam, Mengapa Jakarta, Lagos, dan Bangkok Berada di Garis Depan Krisis Iklim? |
Suaratebo.net - Di penghujung abad ke-21, peta dunia diprediksi akan berubah secara drastis. Fenomena kenaikan permukaan air laut bukan lagi sekadar prediksi ilmiah, melainkan ancaman eksistensial bagi kota-kota metropolitan pesisir. Gabungan antara perubahan iklim dan manajemen urban yang buruk menciptakan "badai sempurna" yang mengancam jutaan penduduk dunia.
Faktor Utama Penyebab Kota Tenggelam
Ada dua kekuatan besar yang bekerja secara bersamaan dalam krisis ini:
- Kenaikan Muka Air Laut (Eustatik), Mencairnya gletser dan ekspansi termal air laut akibat suhu bumi yang memanas menyebabkan volume air laut meningkat secara global.
- Penurunan Muka Tanah (Subsiden), Ini sering kali menjadi faktor yang lebih dominan di kota besar. Ekstraksi air tanah yang tidak terkendali menyebabkan lapisan tanah di bawahnya mampat dan turun.
Daftar Kota dengan Risiko Tertinggi di Dunia
Beberapa kota berikut menjadi sorotan internasional karena kecepatan penurunan wilayahnya yang mengkhawatirkan:
1. Jakarta, Indonesia
Jakarta sering disebut sebagai kota yang paling cepat tenggelam di dunia. Di beberapa wilayah, terutama Jakarta Utara, tanah turun hingga 25 cm per tahun. Pembangunan tanggul laut raksasa (Great Sea Wall) dan pemindahan ibu kota ke Nusantara (IKN) merupakan langkah strategis pemerintah untuk memitigasi risiko ini.
2. Lagos, Nigeria
Sebagai kota terbesar di Afrika, Lagos menghadapi tantangan berupa dataran rendah yang sangat rentan terhadap banjir rob. Tanpa sistem drainase yang memadai dan pertahanan pesisir, kenaikan air laut sedikit saja dapat merendam sebagian besar wilayah ekonomi kota ini.
3. Bangkok, Thailand
Bangkok dibangun di atas tanah liat yang lunak yang sangat rentan terhadap kompresi. Terletak hanya sekitar 1,5 meter di atas permukaan laut, ibu kota Thailand ini diprediksi akan terendam sebagian besar wilayahnya pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi besar-besaran.
4. Houston, Amerika Serikat
Berbeda dengan kota lainnya, penurunan tanah di Houston sebagian besar disebabkan oleh ekstraksi minyak dan gas serta air tanah. Hal ini membuat wilayah tersebut semakin rentan terhadap hantaman badai yang kian sering terjadi.
Solusi dan Mitigasi Berkelanjutan
Untuk menghadapi risiko ini, pendekatan multidisiplin sangat diperlukan:
- Restorasi Ekosistem Pesisir, Menanam kembali hutan bakau (mangrove) sebagai benteng alami pemecah gelombang.
- Penghentian Ekstraksi Air Tanah, Beralih ke sumber air permukaan dan pengolahan air limbah untuk memenuhi kebutuhan industri dan domestik.
- Infrastruktur Adaptif, Pembangunan hunian terapung, tanggul laut cerdas, dan ruang terbuka hijau sebagai area parkir air (polder).
Solusi Global dan Langkah Mitigasi
Menghadapi ancaman ini, pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan menjadi harga mati. Beberapa solusi yang mulai diterapkan secara global meliputi:
Penyediaan Air Bersih Terpusat, Menghentikan penggunaan sumur bor atau ekstraksi air tanah untuk mencegah tanah semakin turun.
- Pembangunan Infrastruktur Adaptif, Penggunaan tanggul laut raksasa, bendungan air, dan sistem polder.
- Restorasi Alam, Penanaman kembali hutan mangrove sebagai pemecah gelombang alami.
- Ruang Terbuka Biru, Menciptakan area di tengah kota yang berfungsi sebagai "parkir air" saat banjir melanda.
